Stop Romantisasi Perjuangan: Mulailah Membangun Sumber Daya
“Berjuang itu penting. Tapi menjadikan penderitaan sebagai identitas bukanlah jalan keluar.”
Kita hidup di dunia yang penuh dengan glorifikasi perjuangan. Seolah-olah semakin berat beban hidup yang kita tanggung, semakin mulia nilai hidup kita. Kita diajarkan untuk bangga dengan penderitaan, untuk mengangkat rasa sakit sebagai lambang keaslian, untuk memuja cerita tentang “jatuh bangun” tanpa henti.
Tapi mari kita jujur sebentar. Apakah benar perjuangan itu selalu perlu dirayakan? Atau jangan-jangan kita sedang terjebak dalam jebakan romantisasi struggle?
“Beban yang kita peluk erat, lama-lama berubah jadi rantai yang menahan kita.”
Romantisasi Struggle Itu Racun yang Terlihat Indah
Romantisasi struggle adalah ketika kita terlalu memuja penderitaan hingga lupa tujuan sebenarnya: keluar dari penderitaan itu. Kita membungkus hidup susah dengan narasi heroik, seolah-olah penderitaan adalah bukti kita kuat.
Masalahnya, banyak orang berhenti di sana. Mereka puas hanya dengan kisah perjuangan, tapi tidak benar-benar melangkah menuju solusi. Hidup jadi seperti sinetron panjang: penuh tangisan, penuh drama, tapi jarang ada babak baru.
Perjuangan Itu Fase, Bukan Tujuan
“Kita tidak dilahirkan untuk hidup hanya di ruang tunggu penderitaan.”
Perjuangan adalah fase. Fase untuk ditembus, bukan rumah untuk ditinggali. Jika kita terus-menerus memuja struggle, kita bisa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tidak produktif.
Perjuangan harusnya menjadi jembatan menuju sumber daya, menuju kapasitas yang lebih besar, menuju kehidupan yang lebih stabil. Bukan menjadi identitas yang kita banggakan seumur hidup.
Mengapa Kita Mudah Terjebak dalam Narasi Penderitaan?
“Kadang kita lebih nyaman hidup dalam luka yang kita kenal, daripada berani melangkah ke kebebasan yang belum kita pahami.”
Ada banyak alasan kenapa kita sering mengagungkan penderitaan:
- Budaya glorifikasi: Sejak kecil kita disuguhi kisah “orang sukses dulu miskin, sekarang kaya”. Akhirnya kita meyakini penderitaan adalah syarat wajib.
- Pengakuan sosial: Orang sering memberi validasi lebih pada mereka yang “berdarah-darah” ketimbang yang membangun dengan tenang.
- Ketakutan pada kenyamanan: Ada kepercayaan salah kaprah bahwa nyaman itu artinya malas. Padahal nyaman bisa berarti hasil dari kerja keras yang bijak.
Sumber Daya Adalah Kebebasan
“Uang mungkin bukan segalanya, tapi tanpa uang banyak pintu kebebasan tetap terkunci rapat.”
Sumber daya adalah apapun yang memberi kita ruang bernapas lebih lega: uang, waktu, jaringan, pengetahuan, atau bahkan kesehatan mental.
Ketika kita punya sumber daya, kita tidak lagi terjebak dalam siklus perjuangan yang sama. Kita bisa memilih. Kita bisa berkata “tidak”. Kita bisa menolak eksploitasi.
Perjuangan itu melelahkan, tapi sumber daya memberi kita opsi. Dan dalam hidup, opsi adalah bentuk kekayaan paling nyata.
Membangun Sumber Daya Itu Tidak Seksi, Tapi Penting
“Orang suka cerita drama. Jarang ada yang mau dengar tentang tabungan, investasi, atau perencanaan.”
Itulah masalahnya. Membangun sumber daya jarang jadi cerita yang viral. Tidak seheroik kisah orang yang jatuh bangun. Tidak seindah narasi penderitaan yang mengundang simpati.
Tapi kalau kita serius ingin keluar dari romantisasi perjuangan, kita harus rela melakukan hal yang tidak seksi: menabung sedikit demi sedikit, belajar skill baru, membangun jaringan, menjaga tubuh.
Berhenti Cari Validasi dari Luka
“Luka itu nyata. Tapi kita tidak harus menjadikannya kartu nama.”
Kadang kita terlalu sibuk mencari pengakuan atas penderitaan kita, sampai lupa bahwa luka tidak akan pernah cukup untuk jadi identitas. Luka bisa jadi pelajaran, tapi bukan rumah tinggal.
Kita tidak perlu dunia tahu betapa berat beban kita. Yang lebih penting adalah bagaimana kita perlahan-lahan menyingkirkan beban itu, atau bahkan membangun kekuatan dari sana.
Struggle Tidak Selalu Mulia
“Tidak semua rasa sakit berarti pertumbuhan. Kadang itu hanya tanda kita sedang diperas oleh sistem yang tidak adil.”
Kita sering diberi tahu bahwa struggle itu suci. Padahal tidak semua. Struggle karena eksploitasi, ketidakadilan, atau kebodohan sistem bukanlah sesuatu yang perlu dirayakan. Itu perlu dilawan.
Dan untuk melawan, kita butuh sumber daya. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang cerita lama tentang penderitaan yang sama.
Membangun Sumber Daya Itu Revolusioner
“Membangun tabungan, membangun skill, membangun jaringan—itu semua bukan hal kecil. Itu adalah bentuk perlawanan terhadap romantisasi penderitaan.”
Ketika kita memilih membangun sumber daya, kita sedang menolak jadi karakter dalam drama yang diciptakan dunia. Kita sedang menulis ulang cerita kita sendiri.
Itu mungkin tidak terlihat heroik, tapi justru di sanalah letak revolusinya: kita berhenti jadi budak narasi perjuangan, dan mulai jadi arsitek kehidupan.
Dari Struggle ke Sustainability
“Tujuan kita bukanlah hidup penuh luka, tapi hidup yang bisa berkelanjutan.”
Struggle boleh jadi pintu masuk, tapi sustainability adalah tujuan akhir. Hidup yang punya fondasi, yang bisa menopang mimpi tanpa harus hancur dulu berkali-kali.
Membangun sumber daya adalah jalan menuju keberlanjutan itu. Karena tanpa pondasi, perjuangan hanya akan berulang dan berulang, tanpa arah.
Langkah Praktis: Mulai Membangun Sumber Daya Hari Ini
Jika kamu merasa terjebak dalam romantisasi perjuangan, berikut beberapa langkah praktis yang konkret—bukan sekadar kata-kata manis—untuk mulai membangun sumber daya:
- Mulai menabung meski sedikit: Kebiasaan kecil menabung mengubah opsi jangka panjang. Dana darurat bukan glamor, tapi itu yang membuatmu punya pilihan ketika masalah datang.
- Belajar skill yang relevan: Investasi pada kemampuan adalah aset yang tak terlihat namun tahan lama. Skill membuka jalan keluar dari pekerjaan yang mengeksploitasimu.
- Bangun jaringan yang nyata: Kenalan bukan hanya jumlah follower. Jaringan yang nyata memberi peluang kerja, kolaborasi, dan dukungan saat krisis.
- Jaga kesehatan mental dan fisik: Korbankan pola tidur demi kerja keras itu bukan kebanggaan. Itu adalah cara cepat menuju burnout. Istirahat adalah strategi, bukan kemalasan.
- Evaluasi narasi hidupmu: Tanyakan pada diri: apakah aku bangga karena aku terus berjuang, atau karena aku tumbuh? Ada perbedaan besar di situ.
- Pelajari manajemen waktu: Waktu adalah sumber daya. Mengelolanya berarti menciptakan ruang untuk membangun hal-hal yang benar-benar berarti.
Ketika Dunia Memuji Mereka yang Berdarah-darah
“Masyarakat suka cerita korban yang bangkit. Tapi lebih jarang memberi alat untuk benar-benar bangkit.”
Kita sering memberi standing ovation pada yang ‘berjuang’—tapi jarang yang membantu mereka mendapatkan akses, pengetahuan, atau modal supaya perjuangan itu benar-benar membuahkan hasil. Puji semangat tanpa memberi alat adalah bentuk empati yang setengah jadi.
Jangan Salah: Perjuangan Tetap Bagus, Tapi Fokusnya Berubah
Perjuangan itu tidak salah. Bahkan seringkali diperlukan. Tapi bedanya adalah: perjuangan yang sehat bertujuan untuk membangun sumber daya, bukan menjadi sumber kebanggaan yang tak berujung.
Perjuangan yang romantis sering memperpanjang penderitaan tanpa hasil. Perjuangan yang produktif mengakhiri penderitaan dengan membangun kapasitas yang nyata.
Membangun Sumber Daya Itu Kebiasaan, Bukan Mukjizat
“Perubahan besar lahir dari kebiasaan kecil yang konsisten.”
Kita sering menunggu momen dramatis—kesuksesan besar, kemenangan spektakuler—padahal kehidupan berubah karena konsistensi. Menabung sedikit tiap bulan. Menghabiskan waktu belajar skill kecil setiap minggu. Menjaga kesehatan secara konsisten. Semua itu tampak kecil, tapi hasilnya bersifat eksponensial.
Bukan Tentang Tidak Merasakan Rasa Sakit, Tapi Tentang Meminimalkannya
“Kamu tidak mungkin hidup tanpa luka. Tapi kamu bisa memilih apakah luka itu jadi identitas atau jembatan.”
Kita tidak perlu meniadakan rasa sakit untuk hidup. Yang perlu kita lakukan adalah meminimalkan dampaknya dengan strategi konkret. Itulah fungsi sumber daya: memberi bantalan, bukan hanya bumbu cerita.
Refleksi Akhir: Ubah Narasi, Ubah Hidup
“Berhenti romantisasi perjuangan. Mulailah membangun sumber daya. Karena cerita hidup kita tidak perlu jadi drama, tapi bisa jadi karya.”
Perjuangan itu wajar. Penderitaan itu nyata. Tapi jangan sampai kita terjebak dalam glorifikasi yang membuat kita betah tinggal di sana.
Mari kita jadikan perjuangan sebagai fase, bukan tujuan. Mari kita berhenti mencari validasi dari luka, dan mulai mencari kekuatan dari sumber daya.
Hidup bukan hanya tentang bertahan dalam sakit, tapi tentang membangun kapasitas untuk memilih jalan baru.
Dan itulah arti sesungguhnya dari kebebasan.
Join the conversation