A Starving Man Does Not Choose His Meal: Ketika Lapar Mengubah Segalanya

Ada satu hal yang sering kita lupakan: standar kita berubah ketika perut kita kosong. Kalimat sederhana ini—a starving man does not choose his meal—bukan hanya soal makanan. Ini soal hidup. Soal keputusan yang kita ambil ketika kebutuhan dasar kita sedang berteriak minta dipenuhi. Ketika lapar, kita tidak mencari yang estetis. Kita mencari yang cukup untuk membuat kita bertahan.

Ketika perut kosong, idealisme sering ikut menguap. Kita boleh saja punya selera tinggi, prinsip ketat, atau standar yang mengkilap saat semua kebutuhan kita terpenuhi. Tapi kelaparan—baik fisik maupun emosional—membuat kita menurunkan kriteria. Bukan karena kita lemah. Tapi karena insting bertahan hidup lebih keras daripada suara hati yang bicara tentang “pilihan terbaik”.

Lapar adalah guru yang kejam tapi jujur. Dia memaksa kita melihat bahwa banyak hal yang kita pikir “harus” ternyata hanya “mewah”. Banyak yang kita anggap esensial ternyata cuma lapisan dekorasi yang bisa dikupas habis ketika keadaan memaksa.

Kita semua pernah “lapar” dalam berbagai bentuk. Ada yang lapar uang, lapar pengakuan, lapar cinta, lapar kesempatan. Saat lapar, kita menerima remah roti dari meja yang dulu kita pandang remeh. Kita berkata pada diri sendiri, “Nanti kalau kenyang, aku akan memilih lebih baik.” Tapi seringnya, kesempatan memilih itu tidak pernah datang.

Kenyataan pahitnya: lapar membuat kita pragmatis. Kita tidak lagi menimbang rasa, warna, atau bentuk. Kita menimbang satu hal: “Apakah ini cukup untuk membuatku hidup satu hari lagi?” Itulah mengapa orang yang lapar sering mengambil keputusan yang orang kenyang akan kritik habis-habisan.

Jangan buru-buru menghakimi keputusan orang lapar. Dari jauh, mudah bagi kita berkata, “Kalau aku jadi dia, aku nggak akan begitu.” Tapi kita lupa, kita berkata itu sambil duduk di kursi empuk, perut penuh, hati aman. Kelaparan mengubah struktur pikiran. Logika tetap ada, tapi urutannya berubah: bertahan hidup dulu, baru bicara prinsip.

Ada yang memilih hubungan yang tidak sehat karena “lapar” akan rasa dicintai. Ada yang menerima pekerjaan buruk karena “lapar” akan penghasilan. Ada yang memaafkan hal-hal yang tak seharusnya dimaafkan karena “lapar” akan kehadiran seseorang. Lapar itu tidak selalu perut, tapi dampaknya sama—menggerus kemampuan memilih dengan tenang.

Lapar membuat kita menerima apa yang ada di depan mata, bahkan jika itu racun. Karena ketika tubuh atau hati berteriak minta diisi, kita lebih takut pada rasa kosong daripada pada bahaya yang menunggu di ujung jalan. Rasa takut mati lebih cepat menggerakkan kita dibanding harapan akan hidup yang lebih baik.

Itu sebabnya orang lapar rela berjalan di jalan yang mereka tahu salah. Karena jalan benar terasa terlalu jauh. Dan lapar adalah alarm yang berbunyi terus-menerus, tidak memberi kita waktu untuk menganalisa panjang lebar. Kita menutup mata pada risiko, asalkan bisa bertahan satu hari lagi.

Tapi di balik semua itu, lapar juga punya sisi jujur yang memalukan. Dia menunjukkan siapa kita sebenarnya. Dia membongkar bahwa sebagian dari pilihan-pilihan kita dulu bukanlah pilihan “murni”, tapi pilihan yang dibuat karena kita mampu menolak. Ketika kemampuan menolak itu hilang, kita melihat betapa rapuhnya integritas kita.

Namun, ada juga orang yang justru menemukan kekuatan di tengah lapar. Bukan berarti mereka tidak terpengaruh, tapi mereka memilih untuk menahan diri, memegang prinsip meski tubuh bergetar. Mereka tahu, rasa lapar akan lewat, tapi rasa malu pada diri sendiri akan tinggal lebih lama.

Lapar menguji bukan hanya tubuh, tapi karakter. Orang yang benar-benar kuat bukanlah orang yang selalu kenyang dan tetap berprinsip, tapi orang yang di tengah kelaparan pun masih bisa berkata, “Aku memilih untuk menunggu makanan yang tepat.” Itu jarang, tapi ada.

Kita sering berpikir bahwa prinsip dibentuk saat kenyang. Padahal, prinsip itu hanya bisa diuji saat lapar. Saat kita bisa makan apapun tapi memilih tidak, saat kita bisa menerima apapun tapi berkata tidak, di situlah prinsip menjadi nyata.

Namun, tidak semua orang diberi kemewahan untuk menunggu. Ini yang membuat kita harus lebih pelan sebelum mengkritik. Lapar itu bukan sekadar kondisi fisik, tapi penjara yang membuat kita merasa tidak punya pilihan lain. Dan bagi banyak orang, bertahan hidup adalah satu-satunya prinsip yang tersisa.

Ironisnya, lapar sering membuat kita berutang pada hal-hal yang seharusnya kita hindari. Kita mengambil pinjaman dari masa depan, kita menjual sebagian integritas, kita menukar kebebasan dengan kenyamanan sesaat. Dan ketika kenyang, kita melihat kembali dan berkata, “Seandainya aku tidak lapar waktu itu.”

Tapi hidup tidak memberi kita tombol rewind. Pilihan yang kita buat saat lapar akan tetap menghantui kita saat kenyang. Itu sebabnya, kalau kita bisa, kita perlu membangun cadangan—baik cadangan uang, cadangan dukungan, cadangan harga diri—sebelum rasa lapar datang. Supaya saat dia tiba, kita masih punya sedikit ruang untuk memilih.

Dan kalau hari ini kita sedang lapar—dalam bentuk apapun—kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah keputusan ini benar-benar kita mau, atau hanya kita ambil karena kita takut rasa lapar ini akan membunuh kita? Kejujuran ini tidak mudah, tapi dia bisa menyelamatkan kita dari penyesalan yang lebih panjang.

Jangan salah, kelaparan memang bisa mematikan, tapi keputusan salah juga bisa membunuh pelan-pelan. Bedanya, yang satu menghentikan hidup kita cepat, yang lain mencicilnya sampai habis. Dan seringnya, kita baru sadar saat sudah tinggal tulang.

A starving man does not choose his meal—kalimat ini seharusnya membuat kita lebih rendah hati saat melihat orang lain membuat keputusan yang kita anggap “bodoh”. Karena mungkin, kalau kita ada di posisi mereka, kita juga akan makan apapun yang ada di piring, tanpa bertanya bahan dasarnya apa.

Tapi di saat yang sama, kalimat ini juga mengingatkan kita untuk tidak hidup selamanya dalam mode bertahan hidup. Karena kalau kita selalu lapar, kita tidak pernah belajar memilih. Kita hanya belajar menerima. Dan menerima tanpa memilih adalah cara tercepat untuk kehilangan arah hidup.

Lapar itu fase, bukan identitas. Kita boleh saja mengambil apapun untuk bertahan hari ini, tapi kita juga harus menyiapkan diri untuk kembali memilih besok. Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya soal bertahan, tapi soal arah. Dan arah hanya bisa kita tentukan saat kita punya pilihan.

Jika hari ini kita kenyang, bantulah yang lapar. Bukan hanya memberi mereka makan, tapi juga memberi mereka pilihan. Karena pilihan adalah kemewahan yang tidak dimiliki oleh orang yang sedang berjuang sekadar untuk bertahan.

Dan kalau hari ini kita lapar, ingatlah: bertahan memang penting, tapi jangan sampai rasa lapar ini membuat kita lupa siapa kita sebenarnya. Mungkin kita tidak bisa memilih makanan kita hari ini. Tapi kita masih bisa memilih bagaimana kita akan melihat diri kita sendiri besok.

NextGen Digital... Welcome to WhatsApp chat
Howdy! How can we help you today?
Type here...